Museum Telekomunikasi Kita, Terkumuh di Dunia?

Ditulis oleh: Garuda Sugardo (mantan BOD Telkomsel, Indosat BUMN & Telkom, sekarang anggota WanTIKNas)

Tidak semua negara memiliki museum telekomunikasi. Atas prakarsa Menparpostel 1988-1993, Indonesia punya. Besar, megah dan membanggakan.
Wisata museum saat ini adalah bahagian dari gaya hidup para pembelajar, komunitas maju dan sosialita intelektual. Namun pastilah museum-museum yang nyaman dan tertata rapi yang menjadi pilihan untuk disambangi. Museum senantiasa akan memperkaya cara pandang kita, selalu berpikir positif terhadap citra sebuah peristiwa.
Mengunjungi museum yang obyeknya berbasis teknologi ternyata menjadi tujuan favorit, karena materinya menawan dan simulasinya mengasyikkan. Nuansanya seakan kita memasuki sebuah lorong peradaban, di mana hasil karya manusia disajikan bersama episode teknologi selaras nafas perubahan global.


Semakin antik koleksinya semakin tinggi nilainya. Apalagi bila masih berfungsi dan kinclong, semua pengunjung tentu senang bergaya atau selfie di depannya. Surprisenya, generasi muda Indonesia kini gandrung museum.
Mereka mulai terbuka bahwa pengertian museum adalah mencakup koleksi masa lalu, peristiwa hari ini dan prediksi teknologi masa depan. Baik fisik, sinopsis maupun diorama.
Cobalah datang ke museum telekomunikasi. Tak ayal, emosi dan alam khayal melebur ke dalam perjalanan hidup bersama perangkat dan alat yang selalu menyertai kita. Sejak zaman purba, sejatinya manusia akrab dengan alat-alat telekomunikasi.
Terlebih lagi masa kini, di era internet broadband dan milenial, mustahil ada orang beraktivitas tanpa smartphone. Ketika di dalam museum, kita terasa hadir pada sebuah pameran hasil karya gemilang para insinyur yang memenuhi kebutuhan zamannya.
Setiap hari hasil kreasi dan inovasinya lahir dan hadir di tengah kehidupan kita.

Soesilo Soedarman, mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi era Soeharto
Di museum telekomunikasi pengunjung dibawa bernostalgia. Ada sistem telegrafi morse, telepon engkol, telepon manual, telepon otomat analog sampai digital, dan kemudian sanubari kita hanyut menikmati berbagai fitur dari ragam ponsel jadoel sampai gadget galaxy lipat yang paling mutakhir.
Begitu juga peminat bisa mencoba pelbagai perangkat canggih yang memungkinkan kita berinternet, berselancar wi-fi dan mencoba pelbagai aplikasi serta konten terbaru. Mulai dari ponsel 1G sampai ponsel spektakuler 5G tersedia di museum telekomunikasi.
Manakala terbuai, bersama gemuruh sistem audio yang mengiringi, kita diantar melayang memasuki kehidupan maya di era siber, realtime industri 4.0 dan artifisial intelijen. Ini adalah nikmat Allah kepada kita. Museum telekomunikasi memang menakjubkan!
Tapi maaf, cerita itu bukan di Museum Telekomunikasi (Mustel) yang ada di Taman Mini Iindonesia Indah. Itu adalah ilustrasi museum di negara lain termasuk tetangga kita.
Mustel Indonesia di TMII, pada tanggal 27 September 2019; seminggu lagi, bertepatan dengan Hari Bhakti Postel ke-74, usianya akan genap 30 tahun peletakan fondasinya.
Di antara keriuhan Ojek on-line, Belanja on-line, serta gemerlap Teknologi seluler 5G, Internet of Things, Smart City dan digitalisasi; ironisnya Mustel Indonesia terlantar, teronggok kumuh sekumuhnya museum dan sunyi tak menentu bak rumah hantu.
Peninggalan Presiden RI ke-2 Pak Harto, Menparpostel Soesilo Soedarman, dan Dirut Telkom (d/h Perumtel) yang legendaris Willy Moenandir; saat ini seakan tidak bertuan. Upaya untuk merevitalisasi tidak kurang dilakukan, tetapi buntu terbentur pada “birokasi dan koordinasi” antarkementerian. Oper sana, oper sini dan ketiadaan komitmen. Hasilnya adalah penantian 5 tahun nan hampa belaka.
Sementara atap kubah gedung Mustel bertambah bocor, koleksinya kian rapuh dan kondisi semakin kumuh. Untung masih ada Telkom sebagai pewaris amanah yang bersedia membayari listrik Mustel dan menempatkan petugas di sana. Telkom terpanggil bertanggung jawab secara moral, karena semua materi peraga di dalam Mustel berasal dari pustaka sejarah dan bukti otentik pengabdian tulus Telkom untuk bangsa. Salut!

Willy Moenandir, mantan Dirut Telkom (d/h Perumtel)
Di bidang telekomunikasi, tak diragukan Telkom Group memiliki segalanya.
Komunitas berharap Telkom sebagai BUMN panutan berdiri di depan mensponsori gerakan merevitalisasi Mustel, sehingga suatu hari terwujudlah Mustel yang modern seperti yang ada di negara maju lainnya. Mudah-mudahan pula para operator yang lain, provider dan suplier telekomunikasi juga sedia berpartisipasi. Aamiin.
Menkominfo yang akan datang adalah tumpuan harapan program revitalisasi Mustel Indonesia. Yang seutuhnya peduli pada pelestarian khasanah dan sejarah telekomunikasi, sadar betapa tanpa telekomunikasi peradaban akan berhenti. 100% mengerti bahwa museum adalah wahana belajar dan media yang efektif untuk mengekspresikan rasa cinta terhadap bangsa.
Kelak kita akan merasa terhormat ketika tamu mancanegara terkagum-kagum pada Mustel Indonesia, karena kita adalah negara hebat dengan populasi seluler terbesar ke-5 di dunia.
Berharap revitalisasi Mustel yang kondisinya mengenaskan dan Revisi UU Telekomunikasi No.36/1999 yang sudah usang adalah pekerjaan rumah pertama yang digarap Menkominfo di
era Kabinet Kerja jilid-2.
Sahabat yang baik hatinya, Mustel kita di TMII sedang lara dan menderita sakit parah. Dalam rangka menyongsong Hari Bhakti Postel ke-74, mari komunitas telekomunikasi dan pencinta museum, sudilah kiranya memberikan empati dan “membesuknya”.
Lokasinya amat strategis, lewat pintu masuk TMII, tengok sebelah kanan. Jangan lupa, siapkan tisu Anda.
Terima kasih.(*)

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled