Genderang Perang Tarif Ditabuh Lagi

sinyal.co.id

Perang tarif dimulai lagi oleh beberapa operator ternama di Indonesia.

Perang tarif dimulai lagi oleh beberapa operator ternama di Indonesia.

Industri telekomunikasi seluler saat ini sedang memanas yang terpicu (akan) terbitnya revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 dan PP No 53/2000 yang memuat regulasi tentang kewajiban berbagi (sharing) frekuensi.

Revisi ini ditentang oleh PT Telkomsel yang menganggap kebijakan berbagi frekuensi berpotensi merongrong bisnis anak usaha BUMN PT Telkom yang isunya kemudian diarahkan akan merugikan negera sampai triliunan rupiah. Namun pemain di luar PT Telkomsel menyambut baik revisi itu karena menilai kebijakan pemerintah tadi akan membuat industri lebih efisien dan menghemat devisa.

Berbagi frekuensi membuat biaya modal Capex (Capital Expenditure) operator bisa ditekan sampai separuhnya yang sekaligus menghemat devisa karena perangkat canggih tadi harus diimpor. Jika penghematan mencapai 50 persen, maka devisa untuk impor pun akan turun setidaknya dengan 40 persen dari 5 miliar dolar AS saat ini.

Sementara teknologi yang semakin berkembang membuat perangkat juga makin murah dan ringkas, utamanya BTS (Base Transceiver Station) yang menjadi perangkat utama menjangkau lokasi pelanggan. Selain makin ringkas, kotak BTS juga dapat digunakan bersama lebih dari dua spektrum, apalagi dengan teknologi 4T4R (4 transmitter – 4 receiver – empat pemancar dan empat penerima), yang mengombinasikan empat sinyal sekaligus, daya pancar BTS meningkat dua kali lipat dibanding dengan cara CA (Carrier Aggregation).

PT XL Axiata didukung PT Ericsson Indonesia memperkenalkan teknologi 4T4R dengan hasil kecepatan download internet hampir 300 Mbps (megabit per detik) dari sebelumnya maksimal 150 Mbps memanfaatkan 20 MHz. Dengan router mifi, 4G LTE bisa diakses oleh laptop atau ponsel sebanyak 10 hingga 32 unit bersamaan.

Teknologi telekomunikasi sangat cepat bekembang, sehingga siklusnya yang semula delapan tahunan ketika teknologi sel ditemukan, menjadi hanya dua atau bahkan 1,5 tahunan, yang mungkin akan menjadi hitungan bulanan. Di satu sisi harga teknologi relatif makin murah, tetapi di sisi lain tumpukan sampah teknologi yang berisi BTS-BTS yang masih mengilat tetapi sudah tidak bisa digunakan, makin tinggi. Apalagi rencananya tahun 2018 teknologi telekomunikasi akan beranjak ke generasi kelima (5G), dan awal tahun depan Indonesia sudah memulai mengadopsi teknologi 4,5G.

Jika dilihat peta telekomunikasi Indonesia, hanya PT Telkomsel yang sudah membangun sampai seluruh pelosok Indonesia lewat 110.512 buah BTS sementara pesaing terdekatnya, Indosat baru punya 52.326 buah dan XL Axiata 59.040 buah. Telkomsel pun melejit dari jumlah pelanggan dengan 152 juta, sementara Indosat dikabarkan mencapai 70 juta dan XL sekitaran 43 juta pelanggan.

Dua operator belakangan kuat menyaingi Telkomsel di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, namun lemah di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, walau XL Axiata lebih kuat dari Telkomsel di Belitong dan Lombok. Kelemahan ini yang disadari para operator non-Telkomsel, yang memang mengakui membangun di sisi luar sangat mahal dan berat serta tidak menguntungkan dan dalam 5 tahun terakhir pelanggan kedua operator tadi justru turun sekitar 5 persen.

Padahal di lapangan terbukti, tarif percakapan dan data Telkomsel di kawasan yang dia melenggang sendiri lebih mahal dibanding tarif yang diterapkan di Pulau Jawa. Soal tarif membuat pesaing Telkomsel bangkit, Indosat menawarkan tarif Rp1/detik dan XL Axiata menerapkan promosi khusus untuk calon pelanggannya di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Operator kelompok Axiata (Malaysia) itu menawarkan kartu perdana yang membebaskan telepon ke sesama pelanggan XL ditambah 15 menit bonus menelepon operator lain, selewat itu hanya memungut tarif percakapan Rp59/menit dan 150 MB akses data, setiap bulan selama 90 hari. Bonus akan berlipat pada bulan keempat sampai bulan ke-12 dengan 30 menit gratis menelepon dan data 300 MB.

XL Axiata juga memangkas tarifnya di kawasan tadi, dari paket data 1 GB dan 60 menit menelepon all operator (anynet) dari Rp39.000 menjadi hanya Rp25.000 sampai paket 6 GB dan 200 menit menelepon anynet dari Rp129.000 menjadi hanya Rp90.000. menelepon sesama pelanggan XL dijamin boleh sepuasnya.

Manajemen PT Telkomsel tidak terlalu mengkhawatirkan kebijakan Indosat dan XL Axiata tadi sebab di ketiga kawasan tadi BTS keduanya jika dijumlahkan pun belum dapat menandingi jumlah BTS Telkomsel. Bahkan di banyak kawasan Telkomsel melenggang sendiri, walau tarif pesaing sudah dapat dikatakan menabuh genderang perang tarif edisi baru.

Telkomsel hanya khawatir pemerintah lewat PP mewajibkan Telkomsel menyewakan frekuensinya, sebab besar kemungkinan Telkomsel terpaksa menurunkan tarif ritelnya kalau tidak mau pelanggannya dilahap Indosat atau XL. Studi UBS mengungkapkan dalam kurun waktu 12 bulan sampai 18 bulan sejak PP diterapkan, nilai wajar PT Telkom akan turun sampai 15 persen sementara nilai wajar XL dan Indosat bisa naik antara 30 persen sampai 50 persen.

Kelompok Telkom dan banyak pengamat memrediksi, jika perang tarif berlanjut ditambah kewajiban berbagi frekuensi, kemampuan Telkom menyetor pendapatan ke negara akan berkurang banyak. Saat ini Kelompok BUMN itu menyetor ke kas negara dari pembagian keuntungan sebesar Rp4,88 triliun, dari berbagai pajak sebesar Rp13 triliun (PPH), Rp7,9 triliun (PPN), Rp40,5 miliar dari PBB dan BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi sebesar Rp4,2 trilun.

Hendro

1 Comment
  1. Reply
    asryl meiliandi 28/12/2016 at 9:12 am

    Boro2, mau ngadopsi 4,5 G atau 5 G, di Kecamatan selimbau kalimantan Barat aja masih jaringan EDGE pak, miris bner nasib di kampung dg pupulasi 11.320 pemakai jaringan

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled