Keengganan Operator Berkonsolidasi

PEMERINTAH mulai tidak sabar dengan lambatnya respons industri – para operator – telekomunikasi dalam proses konsolidasi yang ditawarkan. Tahapan saran, imbauan sudah dilakukan, lalu kini sudah sampai ke high call atau strong recommendation. Kalau belum juga, mungkin perlu pemaksaan untuk konsolidasi demi selamatnya industri.

Menurut Menkominfo Rudiantara, jumlah enam operator; Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Hutchison Tri (3), Smartfren, dan Sampurna Telecom, sudah terlalu banyak. “Jumlah idealnya tiga, atau paling banyak empat,” katanya.

Ujar menteri, konsolidasi, baik berupa akuisisi maupun berupa merger, bukanlah kewenangan manajemen, namun menjadi kewenangan pemegang saham. Pemegang saham pun sudah menyadari perlunya konsolidasi, walau mereka tidak mudah dipengaruhi.

“Masalahnya, banyak pemegang saham yang merasa banyak duit, seperti orang kaya terus dan tidak mau konsolidasi, sementara perusahaannya menderita,” katanya. Padahal konsolidasi bisa berarti merger untuk menyehatkan dua atau lebih operator.

Catatan menyebutkan, jumlah operator terlalu banyak membuat posisi tawar (bargaining power) mereka terhadap vendor sangat rendah, sehingga biaya modal dan biaya operasi menjadi tinggi. Misalnya, untuk membeli BTS, kartu SIM, atau barang lain harga satuannya berbeda untuk operator 20 juta pelanggan atau 40 juta pelanggan.

Operator A memiliki seribu BTS di satu area, operator B punya seribu BTS di tempat  sama. Jika mereka merger, jangkauan layanan mereka menjadi lebih baik karena BTS mereka lebih rapat, mencakup lebih banyak pelanggan. Kalaupun terjadi pelimpasan BTS, sebagian BTS bisa dipindah, relokasi, ke tempat yang masih rendah kepadatan BTS-nya.

Memang “perlawanan” kebijakan konsolidasi akan datang dari vendor, baik vendor kartu SIM maupun vendor teknologi infrastruktur karena jumlah pesanan menjadi lebih sedikit. Demikian pula SDM bisa terkena PHK, karena selama ini terjadi duplikasi.

Persaingan yang ketat membuat industri tidak berkembang dengan baik, bahkan menurun dari tahun ke tahun. Harga murah yang ditawarkan operator memang menguntungkan masyarakat, tetapi ke depannya industri bisa mati.

Sampai dengan tahun 2015, industri tumbuh dengan double digit, di atas 10 persen. Namun pertumbuhan industri yang seharusnya menjadi stimulan ekonomi ini kini sudah tidak sehat dan turun hingga hanya 7 persen saja.

Operator tidak berkenan kalau dalam konsolidasi kemungkinan sebagain frekuensi diambil dan disimpan pemerintah, sampai jumlah lebar frekuensi sepadan dengan jumlah pelanggan. Menurut operator, frekuensi tidak didapat dengan murah, bahkan dalam lelang terakhir Telkomsel berhasil memenangkan pita selebar 30 MHz di spektrum 2300 MHz dengan tebusan satu triliun rupiah lebih.

Maksud operator, biaya-biaya pemerintah atau regulatory cost ini yang justru harus dipangkas karena jadi penyebab industri tidak efisien. Bayangkan operator berpelanggan di bawah 20 juta harus membayar BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi satu triliun rupiah.

Sementara operator lain, meski rugi, ingin berperan sebagai pengakuisisi operator sebelahnya hanya karena dia banyak duit. Namun bagaimanapun, siapa yang pertama mengakuisisi, dia yang akan menang dalam aksi konsolidasi dan mereka yang terlambat tidak akan mendapat apa-apa. (hw)

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled