Nick Woodman, Si Penggagas Kamera Aksi

3

SINYAL.co.id- Go Pro membuat peta industri rekaman video berubah. Yang kompak lebih sexy! Sebuah video tentang penerjunan pasukan Para Amerika Divisi ke-82 Airborne di padang pasir yang dirilis pada 6 Oktober 2015 sudah ditonton oleh lebih dari 1,7 juta mata kepala. Menjadi menari karena pasukan terjun payung ini menggunakan kamera Go pro untuk merekam proses di dalam lambung pesawat Globemaster C17.

Tetapi video buatan Go Pro yang menampilan penerjunan (sekaligus skydiving) dari ketinggian 30.000 kaki di atas Mont Blanc jauh lebih seru. Video berdurasi 2,2 menit itu telah dilihat oleh lebih dari 2,6 juta orang. Dan yang paling fenomenal adalah video dengan judul Red Bull Stratos bekali lipat lebih banyak penontonnya, mencapai 17,6 juta viewer.

Pendek kata hampir setiap video yang direkam oleh kamera mungil yang belakangan disebut Go Pro itu tak ada yang jelek. Semuanya serba keren, dekat, detil, pelakunya bahkan yang menjadi kamerawan,  hingga tak heran bila menampilkan angle yang dulu sulit diambil dengan kamera canggih sekalipun. Jika pun bisa, biasanya membutuhkan banyak kru.

 

JUALAN KALUNG BALI

Awalnya dari sebuah perjalanan surfing yang dilakukan di Australia dan Indonesia. Adalah Nick Woodman, pria asal California, Amerika pelakunya. Ia yang masih muda ketika mencoba bereksperimen merekam diri (swavideo) memakai kamera 35 mm. Tapi biar tak sulit, kamera itu ia ikatkan ke tangan. Dengan begitu, ia bisa lebih mudah dan bebas merekam di saat bersamaan sedang beraksi surfing.

Dari situlah gagasan untuk membuat kamera yang lebih gampang dioperasikan, harga mudah lalu muncul. Sayang, pria penghobi berat selancar ini tak puny amodal besar untuk memproduksi. Toh niat kuat itu tak pudar. Otak bisnisnya tetap jalan, bersama pacarnya, Jill R. Scully ia menjual kalung khas Bali yang ia borong ketika mampir ke pulau Dewata itu. Kalung yang sebuah ia beli seharga sekitar Rp 25 ribuan itu, lalu ia jual di California menggunakan mobil yang ia bawa keliling kawasan selancar seharga Rp 800 ribuan.

Untungnya berkali lipat. Namun toh itupun masih belum cukup untuk membuat perusahaan dan memproduksi kamera. Dari ibunya ia mendapat suntikan dana sebesar 35.000 dolar, sementara sang ayah mengangsurkan kocek sampai  200 ribu dolar. Tetapi semuanya berstatus pinjaman.

Nama Go Pro sendiri lahir dari gagasan keinginan untuk menjuluki sebuah kamera yang dapat menangkap gambar close up. Nick lantas merancang agar kompak, bisa dipasang di tangan, dan harus menggunakan lensa 35 mm. Dengan minibus VW Combi tahun 1971 yang khas anak surfing, ia lalu mulai menawarkan dan menjual. Targetnya pertama tidak lain para peselancar di sekitar California.

Tanpa sulit kamera itu ternyata disukai. Harganya pun bahkan sampai bervariasi, mulai 200 dolar hingga 400 dolar. Berbagai pengembangan lalu dilakukan, termasuk pengujian. Salah satu yang dilakukan adalah dengan dicengkeramkan ke mobil dan ketika merekam mobil berlari kencang mencapai 130 mil per jam. Semata agar diperoleh kamera yang lebih tahan banting dan tidak terganggu oleh suasana ekstrim.

 

ORDERAN BESAR

2    Tahun 2004, alias dua tahun setelah Go Pro versi buatan sendiri diproduksi, Nick memperoleh oerder besar dari sebuah perusahaan asal Jepang. Untuk sebuah acara olah raga, perusahaan itu memesan 100 unit kamera yang akan digunakan merekam. Dari ratusan unit lalu menjadi ribuan. Keuntungan Go Pro waktu itu hanya sebesar 150 ribu dolar (sekitar Rp 2 miliar kurs saat ini). Masih terlampau jauh untuk disebut sebuah perusahaan kelas Forbes atau Fortune.

Proses menjadi besar itu ternyata tidak singkat. Pada tahun 2005-2006, nama kamera aksi benar-benar sebuah produk yang ibarat anak bawang. Sementara kamera digital tengah naik daun. Tetapi itu pun juga masih kalah tenar oleh dominiasi smartphone yang mulai disukai sebagai perangkat pemotretan. Tahun 2005, keuntungan Go Pro naik, tetapi itu pu masih di bawah 500 ribu dolar. Nick baru meraup 350 ribu (sekitar Rp 4,6 miliar) kala itu.

Butuh waktu delapan tahun untuk memastikan nama Go Pro berkibar kencang. Tahun 2012, penjualan Go Pro mencapai 2,3 juta unit di seluruh dunia. Tahun inilah lompatan itu mulai terlihat. Akhir 2012, Foxconn yang bermarkas di Taiwan melihat potensi action camera di masa mendatang. Perusahaan raksasa ini langsung membeli saham perusahaan sebesar 8,88 persen yang bernilai 200 juta dolar.

Pembelian itu membuat nilai perusahaan melambung luar biasa. Di tahun 2012, Go Pro telah bernilai 2,25 miliar dolar (atau sekitar Rp 30 triliun). Tak pelak, pria kelahiran 24 Juni 1975 ini jadi jutawan baru. Apalagi ia tetap sebagai pemilik saham terbesar.

Baru di tahun 2014, Go Pro menjual saham ke publik. Pada 26 Juni tahun itu adalah hari pertama penjualan saham ke publik. Hasilnya di penutupan, nilai saham Go pro menembus 31,34 dolar per kertas.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled