Ribetnya Izin Implementasi 5G di Indonesia

Oleh Garuda Sugardo

Salah satu tekad pemerintahan Jokowi adalah memangkas birokrasi perizinan yang telah lama membudaya di dalam kehidupan kita. Intinya, kalau bisa cepat jangan dibuat lambat; atau yang mudah jangan dibikin susah. Saking “jengkelnya”,  Presiden Jokowi pun mencanangkan akan memangkas eselon 3 dan 4 di kalangan ASN.

Lalu, apa hubungan birokrasi dengan seluler 5G?

Hampir semua operator seluler kita, dengan bekerja sama dengan vendor dan seizin Kominfo, sudah memulai kegiatan demo atau trial sistem 5G sejak dua tahun yang lalu.

Untuk memeriahkan event penyelenggaraan Asian Games 2018, misalnya, Menteri Rudiantara dengan sepenuh kebanggaannya, meresmikan demo 5G Telkomsel-Huawei dengan tema robotika. Sebuah bus yang bermuatan penumpang bernyawa, berkeliling di radius satu BTS dengan kendali sinyal seluler 5G. Bus besar itu bisa menaikkan penumpang, lalu berjalan, mengambil dan menurunkan penumpang di jalan, berhenti di persimpangan lampu merah dan stop di terminal tujuan. Pengunjung AG ke-18 adalah saksi dari implementasi sistem akses 5G Telkomsel.

XL Axiata tidak bisa dipungkiri adalah operator pertama dan yang paling gencar melakukan uji coba 5G. Mereka bahkan telah tiga kali membuktikan kehebatan 5G. Bersama Ericsson, XL pada April 2017 telah memulai trial 5G perdana dengan speed test dan demo virtual reality. Berbarengan dengan AG ke-18, aktivitas trial mereka adalah mencoba keandalan 5G sebagai komplemen dari fasilitas fiberisasi yang mereka miliki pada penerapan Smart City. Dan yang ketiga adalah pada bulan Agustus 2019 tempo hari. Skenarionya adalah melalui test komunikasi virtual antara Menteri Rudiantara dengan sosok “hantu cantik buatan” hasil tampilan hologram 3D. Semua berjalan sesuai skenario.

Operator Indosat Ooredoo yang kondisi keuangannya rada misterius pun telah melakukan trial 5G. Dipimpin Direktur Inovasinya yang diimpor dari Telkom, juga bersama Ericsson, pada November 2018 mereka melakukan uji coba Augmented Reality (AR) 3D di kantornya sendiri.

Dengan kemampuan AR-3D 5G, suatu bimbingan operasi bedah dimungkinkan diberikan oleh dokter senior kepada dokter lainnya secara remote di RS manapun. Begitu juga, kekasih nan jauh di mata bisa seakan nyata hadir di sisi kita guna mengisi kerinduan. Hanya saja, jangan coba-coba dipeluk, bisa-bisa kita jatuh nyungsep gak karuan.

Si kecil SmartFren pun tidak mau ketinggalan. Menggandeng ZTE. Minggu ketiga Agustus 2019, mereka mencoba kemampuan 5G di pabrik perusahaan induknya di Marunda Refinary Bekasi. Penerapannya lebih kepada smart factory robotics untuk mengontrol keakurasian  distribusi logistik pabrik melalui ratusan kamera CCTV yang secara online dan real time tersambung pada jaringan 5G. Hasilnya, proses berjalan efektif dan efisien.

Peristiwa uji coba 5G Indonesia yang terakhir adalah yang dilakukan Telkomsel pada 28 November 2019. Konon, alasan pemilihan Batam adalah guna mengenang sejarah Pilot Project GSM Batam yang fenomenal. Bedanya, bila  seperempat abad yang lalu, proyek percontohan GSM 2G adalah sebuah drama perjuangan  antara hidup dan mati yang penuh dengan keringat, air mata, lapar dan haus;  trial 5G kali ini adalah sebuah atraksi gemerlap di ruang full AC.   Suatu prosesi yang penuh warna-warni nan memesona.

Di Batam,  bersama vendor Ericsson, Telkomsel melakukan uji coba penerapan Intelligent Artificial (IA) akses beberapa use case 5G seperti Smart Air Patrol, Smart Surveillance, Immersive Collaboration, Future City Planning, 5G Video Call, Immersive Entertainment, Seamless Gaming, dan Industry 4.0 Enabler. Dikabarkan, semuanya berjalan lancar memuaskan Alhamdulillah…

Dari semua kegiatan demo ataupun trial tersebut, amat terasa kesan bahwa operator, vendor dan pasar Indonesia sejatinya telah siap mengoperasikan seluler 5G di tanah air. Yang belum siap justru regulatornya, Kemenkominfo.

Statement Dirjen SDPPI Kominfo yang dilansir pada sebuah acara di Jakarta, 27 November 2019, memberikan beberapa syarat komersialisasi 5G di Indonesia. Alih-alih memberi jalan percepatan dan kemudahan (seperti yang diharapkan Jokowi), Dirjen malah menginjakkan kakinya ke pedal rem kendaraan birokrasi yang dikemudikannya.

Regulatory driven yang di tataran global sudah ketinggalan zaman, masih juga asik dimainkannya. Maka muncullah 4 syarat komersialisasi 5G di Indonesia, yaitu: tentang momentum implementasi,  kondisi infrastructure sharing, kajian business model, dan kemanfaatan 5G buat pasar.

Tentang sharing infrastruktur, barangkali beliau lupa, bahwa Revisi PP 52 tahun 2000 yang dikonsepnya, sejak tahun 2016 telah kandas total akibat perlawanan masif dari komunitas telekomunikasi.  Naskah revisi itu pun saat itu serta merta telah membangkitkan nasionalisme masyarakat  yang kompak padu menolak konsep “berbagi” antaroperator yang tidak berkeadilan. Ada operator yang memanfaatkannya untuk sekedar  nebeng infrastruktur, sementara hanya ada satu Telkomsel yang akan menjadi “operator tumpangan”.  Dengan alasan demi perizinan 5G, sepertinya konsep yang kontroversial itu akan dihidupkan kembali. Ajaib.

Bicara tentang model bisnis dan kemanfaatan buat masyarakat, ibaratnya Dirjen ingin mengetes itik berenang di kolam. Operator yang hampir seluruhnya berafiliasi dengan mitra asing sepertinya diminta untuk mempelajari kembali potensi pasar Indonesia. Padahal, soal businesss plan dan business oportunity, masalah ini adalah santapan rutin operator sehari-hari. Mereka sudah amat paham dan  menghayati segala aspek SWOT dalam penyelenggaraan jasa selulernya.  Lihatlah, dalam kondisi pasar yang telah jenuh pun mereka masih survive berlomba. Pangsa pasar 5G justru adalah harapan dan masa depan bisnis seluler mereka di ceruk industri. Terlebih lagi bagi operator yang perusahaannya berstatus Tbk.

Tentang syarat momentum 5G? Presiden Jokowi sudah mencanangkan program ”Making Indonesia 4.0” pada tanggal 4 April 2018. Dalam sistem manajemen pemerintahan, penerapan industri 4.0 lazimnya diterjemahkan sebagai kolaborasi atau kesamaan derajat antarpemeran berbasis pemikiran IT.  Sistem 5G tidak dipungkiri secara sempurna mampu menjawab kebutuhan infrastruktur tesebut, di mana di dalamnya ada kemampuan Artificial Intelligence, pengoperasian Robotics dan pelbagai program digitalisasi serta pemberdayaan akses pita lebar nirkabel. Jelas, sektor industri Indonesia kini menanti kehadiran 5G.

Tidak ada yang salah dengan birokrasi. Namun  (maaf), memperpanjang siklus proses perizinan 5G, adalah antitesis dan layak diasumsikan sebagai “pembangkangan”  terhadap program Making Indonesia 4.0. Menunda kehadiran 5G seakan merupakan sikap “melawan arah” terhadap program RI-1 tentang pemotongan eselon 3 dan 4 yang sebagian kelak akan disubstitusi dengan fungsi intelijensia artifisial (AI) via 5G.

Menuju Indonesia Maju, para Eselon 1 dan 2 justru diharapkan perannya sebagai mesin akselerator pembangunan nasional. Yang tidak kalah penting adalah melibatkan peran industri dalam negeri secara signifikan.  Di sinilah dan inilah justru kunci keberhasilan revolusi birokrasi  dan peningkatan rasa nasionalisme kita.

Selamat tinggal birokrasi ribet.

Selamat datang 5G di Indonesia!

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled