Tanpa Merger Operator, Tugas Mendukung Transformasi Digital Sulit Dicapai

WWW.SINYALMAGZ.COM — Tantangan terbesar operator telekomunikasi di Indonesia hari ini adalah bagaimana menjalankan bisnisnya agar sustainable. Tidak hanya sekadar survive. Indikatornya sederhana. Menurut Sarwoto Atmostarno, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), operator yang tidak bisa mencapai target EBITDA 6 hingga 8% pertahun selama 4 sampai 6 tahun berada di titik berbahaya. Bahkan bukan tidak mungkin minggir.

Di sisi lain,  “Dapat dikatakan sekarang jumlah pelanggan telekomunikasi sudah di titik jenuh tapi bertipe konsumen bandwidth hunger. Sedangkan harga layanan data di Indonesia merupakan yang terendah setelah India,” jelas mantan Direktur Utama Telkomsel itu  dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Indonesia Technology Forum (ITF) pada Jumat, 22 Oktober 2021.

Harga layanan terus turun, otomatis berpengaruh pada pendapatan yang menurun. Sedangkan, biaya investasi tinggi dan teknologinya memiliki durasi tertentu dengan kebutuhan pergantian platform.

Bagaimana langkah yang sebaiknya dilakukan oleh operator?

Menurut Sarwoto, industri telekomunikasi membutuhkan langkah-langkah inovasi, salah satunya dengan melakukan konsolidasi bisnis atau merger, seperti yang dilakukan oleh Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia belum lama ini.

Lewat merger dua perusahaan juga bisa melakukan akuisisi data konsumen dan membangun market share bersama. Seperti yang kita ketahui bahwa jumlah pelanggan Tri sebanyak 44 juta dan Indosat Ooredoo 60 juta, yang jika dijumlahkan akan menempati posisi kedua operator dengan jumlah pelanggan terbanyak.

Namun merger hanyalah pintu masuk untuk menyelamatkan operator dari kondisi pasar saat ini. Untuk keluar dari posisi bertahan hingga mencapai kondisi sehat dan bertumbuh, operator dipaksa untuk mengubah dirinya menjadi perusahaan teknologi. Caranya dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi rintisan (start up) sembari berinvestasi di infrastruktur.

Sarwoto menambahkan kondisi ini sudah diramalkan sejak 2013 dimana pendapatan konten akan lebih besar dari infrastruktur. Padahal tanpa operator telekomunikasi semua industri teknologi itu tidak berdaya. Kini yang menikmati industri telekomunikasi terbesar adalah perusahaan-perusahaan berbasis teknologi.

Maka tidak heran teknologi digital diharapkan akan mampu mengubah situasi khususnya perekonomian nasional. Salah satu yang telah dicanangkan oleh pemerintah adalah program Transformasi Digital Nasional 2024 yang dicanangkan pemerintah merupakan harapan bangkitnya ekonomi Indonesia di masa pandemi, dengan harapan rata-rata tumbuh 5% (2022—2026).

Sektor telekomunikasi dianggap bisa menjadi industri pendorong. Lewat ekonomi digital yang bertumpu pada kemajuan teknologi telematika  inilah diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.

Ada 3 pilar yang mendorong terciptanya transformasi digital. Pertama adalah infrastruktur digital yang dapat dicapai dengan membangun konektivitas nasional hingga ke daerah 3T, membangun pusat data nasional, dan penataan frekuensi. Kedua, lewat pemanfaatan digital yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor-sektor penting hingga UMKM dan pertanian di pedesaan. Ketiga, melalui penguatan pendukung, seperti keamanan siber, big data, fintech sampai ke mempersiapkan literasi masyarakat dan SDM di bidang TIK.

Kehadiran operator menjadi tulang punggung berlangsungnya transformasi tersebut. Operator menjalankan konektivitas. Layanan jaringan merupakan core ICT.

Sarwoto membayangkan jika bandwidth internet mengalami blackout.  Tidak hanya layanan pemerintahan, kebutuhan masyarakat, hingga hal-hal terkait  keadaulatan negara dapat terancam.

 

Pertumbuhan perusahaan teknologi secara global berkembang pesat dengan kapitalisasi pasar tumbuh 29% (CAGR 2009—2020) yang diakselerasi oleh dampak Covid-19, sedangkan perusahaan telekomunikasi tumbuh stagnan hanya 3%. Melihat data tersebut maka akan sangat menguntungkan jika perusahaan telekomunikasi mau mengubah diri menjadi perusahaan teknologi.

Menurut Sawrwoto, perburuan start up menjadi tren di kalangan operator saat ini. Meski berisiko besar, mengakuisisi start up jauh lebih murah dan diharapkan lebih menguntungkan, dibandingkan dengan mengakuisisi perusahaan teknologi kelas unicorn. Lewat merger dan perbaikan infrastruktur, operator bisa mempunyai posisi tawar yang baik untuk dapat mengakuisisi perusahan teknologi incarannya.

Sehatnya industri telekomunikasi tidak hanya berguna bagi industri itu sendiri, keberlangsungan hidupnya memberi dampak sangat besar bagi program transformasi digital nasional. Tanpa internet, ekonomi digital yang diharapkan meningkatkan pendapatan negara  tidak akan tercapai.

Sarwoto menegaskan, “Sustainability Telcos adalah kepentingan nasional.” Artinya, menuju perusahaan telekomunikasi yang sustain, maka langkah konsoldisasi merupakan salah satu bentuk konkret dukungan industri kepada rencana pemerintah membangun transformasi digital. (*)

 

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled