Ekonomi Digital Perlu Aturan Telekomunikasi yang Sehat

sinyal.co.id

Hendrowijono, Tulus Abadi, Agus Pambagio, dan Nonot Harsono dalam diskusi akhir tahun Telekomunikasi

Hendrowijono, Tulus Abadi, Agus Pambagio, dan Nonot Harsono dalam diskusi akhir tahun Telekomunikasi

Ekonomi digital punya potensi besar untuk terus meningkat dan menjadi salah satu sektor penting bagi pertumbuhan ekonomi negara. Begitulah pernyataan yang sering didengungkan mulai para pengamat, pemerintah hingga pebisnis. Salah satu strateginya adalah fokus pada industri kreatif berbasis konten dan aplikasi yang bisa memberikan digital skill, sehingga bisa kompetitif dengan negara lainnya.

Menurut Nonot Harsono, chairman Mastel Institute, untuk mewujudkannya memang tak mudah. Harus ada dukungan dari pemerintah terutama untuk ketersediaan infrastruktur yang memadai agar ekonomi digital terus tumbuh. Menurut Nonot, jaringan kabel broadband hingga ke rumah-rumah adalah tanggung jawab pemerintah.

“Selama ini memang sudah dipetakan wilayah mana yang penggelaran akses broadband bisa diserahkan ke swasta dan mana yang harus dilakukan pemerintah“ kata Nonot Harsono dalam acara ‘Diskusi Refleksi Akhir Tahun Industri Telekomunikasi Problematika dan Potensi Industri Telekomunikasi di Era Digital’ di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Saat nantinya Indonesia masuk ke jaringan 5G, kondisi yang ada sudah sangat berbeda, dan bukan lagi masalah kecepatan sebagai kelanjutan dari 4G. Saat era 5G, semua device akan bisa terhubung ke internet dan dimonitor. Jadi akan muncul tantangan menata jaringan backbone, backhaul, dan access dengan tepat agar kemanfaatannya dapat lebih optimal dirasakan.

Network sharing
Tantangan bisnis yang makin kompleks, memerlukan efisiensi dan aturan yang lebih harmonis, sehingga terjadilah investasi yang boros. Salah satunya adalah network sharing, yang bisa menekan resiko. Tujuannya, wilayah yang kurang layak secara investasi bisa berubah menjadi layak, dan pemerataan telekomunikasi bisa terjadi. Kebijakan cost-sharing melalui beragam infrastructure sharing bisa menjadi jawaban agar para pihak yang berkepentingan dalam industri telekomunikasi bisa berkompetisi secara sehat.

Jika diibaratkan, cost-sharing bisa diibaratkan gotong royong, yang selama ini sudah terlihat di industri telekomunikasi, yaitu setiap tahun terhimpun dana iuran kontribusi USO sekitar Rp2 triliun dari para penyelenggara telekomunikasi. Maka menurut Nonot, cost-sharing ini bisa beragam bentuk asalkan menghasilkan win-win solution.

Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik yang hadir sebagai salah satu pembicara di acara tersebut, mengatakan bahwa industri telekomunikasi sangat dinamis, sehingga dia mengkritik regulasi yang belum sesuai perkembangan teknologi seluler. “Ini harus dilakukan pada Revisi UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, atau segera sahkan Perubahan PP No.52 dan 53 tahun 2000”.

Tak ada operator murni Indonesia
Selama ini, banyak pihak mendengungkan nasionalisme jika bicara tentang operator telekomunikasi. Agus Pambagio mengkritik bahwa persoalan kebijakan publik semestinya tidak berpihak dengan dalih nasionalisme, apalagi menurutnya kini tidak ada lagi operator telekomunikasi seluler yang murni dimiliki Indonesia sepenuhnya. Agus menyarankan adanya koordinasi secara online antar kementerian/lembaga agar kebijakan dapat lebih transparan dan akuntabel. Jika sisi regulasi dan penerapan cost sharing di lapangan dapat terlaksana, maka efisiensi industri telekomunikasi akan terjadi. Akhirnya, tarif telekomunikasi bisa lebih terjangkau dan kepentingan konsumen terlayani. Apalagi menurut Tulus Abadi, Ketua Pelaksana Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), masih tingginya kesenjangan layanan operator di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa harus dipersempit.

Wahyu

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled