Interkoneksi Operator Yang Sulit Konek

sinyal.co.id

 

foto: ist

foto: ist

SEBULAN terakhir ini hiruk pikuk dunia telekomunikasi Indonesia sulit dipahami oleh masyarakat umum. Awal Agustus lalu ada surat edaran (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) soal penurunan tarif interkoneksi rata-rata 26 persen dengan 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler.

Penurunan tarif interkoneksi yang hanya Rp 46/menit dari Rp 250 ke Rp 204, sangat tidak masuk akal bagi masyarakat, kenapa sampai diributkan. Tarif ini sebelumnya sudah turun, pada tahun 2010 dari Rp 260/menit menjadi Rp 251/menit dan tahun 2013 turun lagi menjadi Rp 250/menit.

Apakah ini jumlah yang besar jika dihitung, misalnya, interkoneksi (panggilan dari operator satu ke operator lain) ke Telkomsel sebesar 53 miliar per menit, ke Indosat 14 miliar per menit dan ke XL sejumlah 9 miliar per menit. Jumlah panggilan ke operator sebaliknya tidak terlalu beda dan penerimaan masing-masing pada 6 bulan pertama tahun 2016 mencapai Rp 8,9 triliun, Indosat Rp 1,9 triliun dan XL Rp 2 triliun.

Biaya pembangunan yang digunakan untuk perhitungan interkoneksi tiap operator berbeda. Telkomsel terbesar dengan Rp 285/menit, Indosat Rp 87/menit, XL sekitar Rp 65/menit dan Tri Rp 120/menit, sehingga walaupun ditunda, XL akan memperlakukan tarif interkoneksi sekitaran Rp 100/menit.

Catatan dari laporan keuangan 2 operator tahun lalu menyebutkan, XL Axiata menerima hasil dari interkoneksi sebesar Rp 100 miliar (net receiver) tetapi Kelompok Telkom termasuk Telkomsel minus (net payer) Rp 75 miliar. Sementara pendapatan Kelompok Telkom sekitar Rp 110 triliun dan XL Axiata sekitar Rp 26 triliun.

Keributan sebenarnya hanya terjadi karena Kelompok Telkom menolak hitungan yang tercantum di SE Menkominfo 2 Agustus 2016, karena asas yang digunakan adalah perhitungan simetris, tarif ditetapkan sama untuk semua operator. BUMN itu menghendaki hitungan berdasarkan asimetris, yang lebih banyak membangun tarifnya lebih besar dibanding operator yang lebih sedikit.

Sebagai gambaran, Telkomsel dari Kelompok Telkom dengan jumlah pelanggan 153,6 juta memiliki 110.000 BTS (base tranceiver station), Indosat dengan 70 juta pelanggan punya 52.300 BTS dan XL Aciata dengan 42,5 juta pelanggan mengoperasikan hampir 60 ribu BTS. Dengan jumlah terbanyak BTS yang berarti menjangkau kawasan lebih luas di Indonesia, Telkomsel mengklaim biaya pembangunannya jauh lebih besar dari operator lain sehingga wajar kalau biaya interkoneksinya tidak turun.

Perhitungan besaran tarif interkoneksi disepakati dihitung berdasarkan biaya (cost base) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kominfo No 8 tahun 2006. Jadi pelanggan Indosat akan membayar lebih mahal jika menelepon ke pelanggan Telkomsel dibanding sebaliknya, karena biaya pembangunan yang berbeda jauh. Di sisi lain, operator incumbent (petahana) seharus lebih efisien dan menawarkan tarif interkoneksi yang lebih murah karena makin luasnya jaringan dan makin murah harga teknologi (BTS dan sebagainya).

Lebih banyak ke SingTel

Selama ini, operator lain – PT Indosat, PT XL Axiata, PT Hhutchison Tri Indonesia dan PT Smartfren Telecom – dikatakan hanya mau membangun di kota-kota Jawa dan Sumatera saja dan di kawasan-kawasan yang pasarnya bagus. Tetapi Telkomsel memang selain di kawasan yang prospeknya bagus juga aktif membangun di daerah pinggiran, terluar dan termiskin.

Dari biaya pembangunan, biaya modal (capex – capital expenditure) kawasan terpencil dan terluar tadi pastinya lebih mahal dibanding jika membangun di kawasan “basah’. Kelompok Telkom, didukung antara lain sebagian anggota Komisi 1 DPR dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), menyebutkan penurunan tarif akan merugikan negara, karena selama ini Kelompok Telkom atau khususnya PT Telkomsel menjadi andalan Negara untuk mengisi APBN.

Sekalipun selalu menekankan bahwa mereka sangat Indonesia sementara operator lain milik asing, sebanyak 35 persen saham Telkomsel dikuasai SingTel yang mendapat jatah 35 persen pendapatan Telkomsel. Namun pendapatan Negara dari Telkomsel tidaklah otomatis 65 persen, karena Negara hanya menerima sekitar 33,15 persen.

Seharusnya, Peraturan Menteri (PM) Kominfo mengenai besaran tarif interkoneksi itu dikeluarkan pada 1 September. Hanya saja ada penolakan dari Kelompok Telkom, penerbitan PM tadi ditunda setidaknya sampai Menteri pulang dari Tiongkok awal pekan ini. Selain itu juga karena dari lima operator, Telkomsel belum juga memasukkan DPI (daftar penawaran nterkoneksi) yang seharusnya sudah disampaikan pada 31 Agustus seperti disyaratkan.

Pada dasarnya Telkomsel menolak perhitungan dari pemerintah yang juga sudah disetujui oleh BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia). Menurut Dirut PT Telkomsel Ririek Ardiansyah, berkaitan dengan tarif interkoneksi pihaknya mendukung pemerataan pembangunan hingga ke seluruh pelosok, dan tarif retail yang murah saja tidak cukup bagi pelanggan karena harus diimbangi mutu jaringan yang baik dan merata.

Telkomsel berpegang pada Peraturan Menteri Kominfo No 8 tahun 2006 sehingga tidak bersedia mengeluarkan DPI sebelum pemerintah mengumumkan biaya perhitungan interkoneksi masing-masing operator sebagai dasar acuan pembuatan DPI. Kata Ririek, surat yang ia kirimkan ke Menkominfo yang mempertanyakan masalah ini belum juga dijawab.

Pada dasarnya, menurut Rudiantara, penurunan biaya interkoneksi diharapkan akan membuat industri lebih efisien dan masyarakat diuntungkan karena tarif retail off net (antar-operator) lebih murah. Saat besaran tarif off net sekitaran tujuh kali tarif on net, sehingga orang memiliki nomor beberapa operator untuk mendapat tarif on net dalam melakukan panggilan.

Jika tarif off net dekat atau sama dengan tarif on net bukan tidak mungkin orang tidak perlu lagi punya beberapa ponsel dengan nomor berbeda.  Jumlah nomor aktif pun tidak lagi sampai 362 juta seperti sekarang, mungkin tinggal 180 jutaan.

Moch. Hendrowijono

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled