Operator Bosan dengan 5G Rasa 4G

Berbagai uji coba 5G semua operator seluler dan penerapannya di MotoGP Mandalika oleh Telkomsel dan XL Axiata sudah dilakukan, dan berhasil baik. Namun belum juga berhasil mengetuk hati pemerintah – Kementerian Kominfo – untuk segera merilis spektrum milimeterband yang sangat dibutuhkan untuk layanan 5G.

Uji coba operasional 5G di pabrik industri yang dilakukan Smartfren bertahun lalu membuka mata industriawan, 5G bisa menghemat dan mengefisienkan proses industri. Uji coba masih sekadar berhasil memberi layanan “5G rasa 4G”, belum 5G sungguhan.

Uji coba memanfaatkan DSS (dynamic spectrum sharing), spektrum yang sama digunakan untuk teknologi berbeda, 5G dan 4G secara dinamis, selain menggunakan teknologi MIMO (multiple input multiple output). MIMO menggunakan banyak antena pemancar (T-transceiver) dan antena penerima (R –receiver) yang bisa berjumlah 4T4R atau bahkan 64T64R untuk mem-booster kapasitasnya.

Tetapi tergantung kondisi beban jaringan, tidak bisa digunakan kalau jaringan 4G sedang padat pengguna. Akhirnya kapasitas yang didapat pun dekat-dekat dengan kapasitas 4G “tambah sedikit”, hingga bisa sampai 1GB, dan itu yang disebut 5G rasa 4G.

DSS tidak bisa permanen, berpotensi mengganggu layanan 4G karena yang digunakan adalah frekuensi 1800 MHz dan  2,1 GHz.  Ada spektrum 2,3 GHz (2300 MHz) untuk 5G, namun vendor-vendor ponsel dan vendor teknologinya jarang yang menggunakannya.

Frekuensi 2,3 GHz Telkomsel, misalmya, sebagai spektrum menengah (midband) tetap  jadi berkah karena digunakan untuk mengatasi kepadatan trafik seluler di tempat ramai. Kapasitas yang besar dari cara reuse dan perbanyakan BTS, membuat makin banyak pelanggan Telkomsel bisa dilayani.

Layanan murni 5G membutuhkan milimeterband atau gelombang sangat tinggi di 26 GHz seperti yang dilakukan Telkomsel di Mandalika, menyemburkan kapasitas unduh di atas 6 GB. Juga frekuensi 28 GHz, 35 GHz dan operator negara lain juga menggunakan 40 GHz.

Yang digunakan untuk uji coba di Mandalika, frekuensi antara 3,4 GHz hingga 3,6 GHz selebar sekitar 180 MHz, yang masih digunakan untuk transponder satelit Extended C-Band.

Milimeterband

Tidak semua ponsel 5G bisa menyerap frekuensi 3,5 GHz, tetapi bisa memanfaatkan frekuensi 26 GHz, 28 GHz, 35 GHz. Masing-masing spekrtrum frekuensi itu dapat menyediakan pita selebar minimal 1.000 MHz.

Indonesia akan menggunakan spektrum 2,3 GHz, 3,5 GHz, 26 GHz, 28 GHz dan 35 GHz, yang sebagiannya akan dirilis pemerintah untuk layanan 5G operator. Namun belum ada kabar kapan pemerintah mengeluarkan frekuensi itu, juga frekuensi 700 MHz yang mulai ditinggalkan televisi analog yang migrasi ke teknologi digital.

Masih ada pertanyaan di kalangan operator dan pengamat, apakah pemberian frekuensi milimeterband itu akan dilelang seperti terjadi pada rentang-rentang frekuensi yang sudah digunakan operator saat ini. Ataukah pemerintah memberikannya dengan cara kontes kecantikan (beauty contest) yang pada dasarnya hanya diberi jika operator menunjukkan kinerja yang baik.

Pertimbangannya, investasi di 5G jauh lebih mahal dibanding untuk 4G, sehingga pola lelang dengan hasil triliunan seperti untuk 30 MHz di spektrum 2,3 GHz sulit diterapkan. Walau, bagaimanapun pemerintah butuh uang dan cara paling gampang adalah “menjual” frekuensi.

Berbeda dengan teknologi 4G yang jarak antara BTS-nya (base transceiover station) bisa sampai 3 kilometer, radius jangkauan spektrum 26 GHz, 28 GHz, 35 GHz dan seterusnya hanyalah antara 200 meter hingga 300 meter. Bentuk BTS-nya pun tidak ditunjang menara, namun berupa kabel serat optik yang muncul ke permukaan pada titik-titik itu.

Peluang efisiensi industri

Biaya modalnya (capex – capital expenditure) bisa 10 kali lipat 4G.  Bukan tidak mungkin kelak tarifnya pun bisa 10X lipat tarif 4G LTE.

Karenanya, boleh saja masyarakat bangga memiliki ponsel 5G yang menyajikan kecepatan tinggi, kapasitas besar sehingga videonya terlihat sangat halus, dan latensi rendah. Bisa saja 5G digunakan perorangan atau keluarga, misalnya mengoperasikan robot rumah tangga, “Namun lebih manfaat untuk kawasan yang padat manusia misalnya mal, atau di pabrik industri,” kata Fajar Aji Suryawan, ahli seluler yang kini berkarya di Goto.

Ada juga 5G yang menggunakan rentang frekuensi rendah, misalnya 900 MHz yang teknologi Internet of Things (IoT). Karena jangkauannya luas, hingga radius 5 kilometer, spektrum ini digunakan untuk industri pertanian dan peternakan, juga digunakan oleh kota pintar (smart city) untuk antisipasi banjir, mendeteksi keasaman air sungai dan sebagainya.

IOT bisa dilakukan untuk pengaturan waktu pemberian pupuk, mengatur jadwal catu makanan ikan, juga untuk peternakan sapi, ayam. Ada berbagai kemungkinan industri yang bisa dikerjakan dengan teknologi IoT yang uji cobanya di Indonesia menggunakan pita selebar 5 MHz di spektrum 900 MHz.

Jadi, sebenarnya 5G itu bukan untuk kita yang cuma menghabiskan 5 GB per minggu atau per bulan. Kelak pun tidak akan ada BTS 5G di sepanjang jalan, perkampungan, kompleks karyawan di setiap jarak 200-an meter, karena kebutuhan manusia tidak sebanyak yang bisa disediakan teknologinya.

Kita cukup terpenuhi layanan 4G LTE dibanding pakai 5G yang bisa menyedot 100GB sehari. Crazy rich saja akan berpikir lima kali sebelum memutuskan menggunakan 5G untuk kegiatan hariannya.

Bagi operator, teknologi 5G membuka peluang pendapatan baru yang nilainya lebih besar, bukan “recehan”, curah,  tetapi gelondongan. Karena mayoritas pelanggannya kalangan industri yang mendambakan otomasi produksi.

Bagi industri, 5G menawarkan peluang efisisiensi, mengurangi biaya, memanfaatkan teknologi yang kecepatannya, ketelitiannya, kerapihan dan kebersihannya, setidaknya 10X lipat dibanding menggunakan cara-cara tradisional. Kurang cerdas kalau industri, skala menengah ke atas, tidak memanfaatkan teknologi 5G yang digelar operator. ***

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled