Pita Lebar Jadi Tersangka Terorisme

Kurang beraktivitas

Namun layanan pita lebar juga mampu meluaskan paham radikal, mampu membuat orang tergerak untuk ikut, hanya dengan mengakses pidato atau ceramah yang menggebu, yang “menghipnotis”, dari gawai mereka. Karenanya ada saja sosok yang santun, ramah tetapi lebih suka menyendiri, yang tiba-tiba bersikap radikal, menjadikan semua sisi kegiatan masyarakat sebagai musuh yang harus dibasmi dari muka bumi.

Apakah semua pengguna gawai lalu menjadi tersangka pelaku teror seperti yang terjadi di Jalan Thamrin dua pekan lalu? Tentu saja tidak, karena penggemblengan yang berujung kepada baiat (sumpah setia) tidak terjadi hanya dengan mengakses situs-situs radikal tadi sekali dua kali.

Namun yang pasti, yang terbawa ke aliran ekstrem ini kebanyakan mereka yang kurang beraktivitas, tidak punya kerja tetap atau berpenghasilan cukup yang lingkungannya membuat dia geram karena merasa ditinggalkan dari sisi kesejahteraan. Satu sentilan dari ceramah digital di gawainya yang menyinggung sentimen ketidaksetaraan ini sudah mampu membuat orang jadi tergerak dan makin nyata melihat kesalahan lingkungannya.

Meluasnya layanan pita lebar memang mampu mengurangi perlunya tatap muka secara fisik dan tidak mengurangi makna dari isi provokasi. Orang tak perlu lagi mendatangi pengajian tertentu untuk mendapat ilmu bagaimana menghancurkan kebatilan, segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam yang mereka pahami.

Dengan modal pengetahuan akan isi kitab suci yang tidak lengkap, pandangan umat akan mudah dibelokkan, apalagi jika ayat-ayat dikutip secara sepotong-sepotong. Padahal makna murni harus dipahami secara utuh dengan melihat segala sisi dari yang diungkapkan dalam kitab suci, yang membeberkan masalah dari segala sudut kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Orang kini tidak harus mengidolakan guru mereka, karena idola bisa datang setiap saat yang dibutuhkan lewat gawai. Dan, mereka yang punya banyak waktu akibat tidak punya kesibukanlah yang paling mudah dipengaruhi.

Tidak hanya ilmu agama, gawai juga dapat menghadirkan ilmu bagaimana merakit bom, bagaimana cara menggunakan senjata api. Bagaimana cara berkoordinasi, mendapat arahan dari pimpinan yang nun jauh di sana yang isinya bagaimana memusnahkan kebatilan, misalnya menghancurkan tempat penjualan minuman beralkohol, menghancurkan tempat para wanita dengan bebas membuka auratnya di tempat umum semisalnya ketika berjemur di pantai.

Gawai mempermudah itu semua, sehingga saat ini merekrut pengikut jauh lebih mudah dibanding dekade lalu yang harus lewat pertemuan-pertemuan yang menghadirkan tokoh karismatik. Memodifikasi ayat-ayat dan cara penyampaian yang menyentuh, cukup dilakukan lewat pita lebar.

Apakah itu salah, tidak juga sepanjang itu dilihat dari sisi teknologi. Teknologi sejatinya tak akan mampu mengatur atau menyaring konten yang disebarkan lewat teknologi itu sendiri. Itu memang sisi negatif dari kemajuan, yang harus dihadapi, dipilah dan ditangkal sesuai pemahaman kita masing-masing.

Moch. Hendrowijono

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled