XL Axiata Membalik Rugi Jadi Untung

PT XL Axiata sedang “hoki”, laporan keuangan anak perusahaan Kelompok Axiata itu menonjolkan keberhasilan hingga triwulan ketiga tahun 2019. Antara lain dengan naiknya pendapatan sebesar 11 persen, dari Rp 16,9 triliun pada September 2018 menjadi Rp 18,7 triliun dengan dari semula rugi Rp 132,5 miliar menjadi laba Rp 502 miliar pada periode sama.

Memang sebagai operator seluler peringkat kedua, XL Axiata belum bisa menandingi PT Telkomsel yang induk usahanya, PT Telkom, meraih laba Rp 23,2 trilun dari periode sama tahun sebelumnya yang Rp 20,9 triliun. Pendapatan BUMN itu menyentuh angka psikologis Rp 102,6 triliun, naik sekitar 3,4 persen dari Rp 99,2 triliun, yang sekitar 68 persen pendapatannya berasal dari PT Telkomsel.

Telkomsel memang menjadi raja seluler dengan penggelaran 209.000 lebih BTS guna melayani 178 juta pelanggannya sehingga jaringannya sampai ke pedesaan, tempat terpencil dan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal). Di banyak tempat, terutama di tempat yang secara ekonomis tidak potensial atau sulit terjangkau, Telkomsel aktif membangun dan menjadi dominan karena tidak ada operator lain yang menggelar jaringan.

Ibukota Kabupaten Puncak Jaya, misalnya, cukup potensial namun tidak punya hubungan prasarana jalan atau sungai, hanya terhubungkan lewat jalur udara. Untuk membawa material menara dan BTS, Telkomsel terpaksa menyewa helikopter. Itu pula yang dilakukan untuk membangun fasilitas telekomunikasi di kawasan terpencil lainnya.

Kesempatan makin terbuka bagi operator di luar Telkomsel membangun di wilayah 3T, utamanya di Papua, dengan selesainya pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring di tiga wilayah, barat, tengah dan timur. Beda dengan pulau lain semisal Kalimantan atau Sulawesi dan Sumatera, Papua menghadirkan kendala yang sangat sulit bagi penggelaran serat optik, karena faktor alam dan keamanan.

Pemerintah mengakalinya dengan membangun prasarana tulang punggung (backbone) berupa jaringan gelombang mikro (microwave). Sama dengan membangun BTS di banyak kawasan di Papua, pemerintah juga memanfaatkan transportasi helikopter untuk membawa material ke puncak-puncak gunung dan bukit.

Kini dengan tarif penggunaan Palapa Ring (termasuk jaringan gelombang mikro) yang relatif murah, kesempatan bagi XL Axiata dan tiga operator lain, Indosat, Tri dan Smartfren membangun BTS di Papua. Tinggal lagi faktor potensi ekonomisnya yang mungkin akan menjadi pertimbangan, meskipun, jika dibandingkan soal tarif, empat operator non-Telkomsel akan mampu menghadirkan layanan yang bersaing.

Saat ini, dibanding PT Indosat Ooredoo, XL masih terbilang bagus, walau anak usaha Kelompok Ooredoo Qatar itu mencatat kenaikan pendapatan sebesar 12,4 persen dari Rp 16,8 triliun menjadi Rp 18,9 triliun. Indosat masih mencatatkan rugi, hanya saja jumlahnya berkurang dari Rp 1,25 triliun di triwulan ke-3 tahun 2018 menjadi “hanya” rugi Rp 256 miliar. Jumlah pelanggan juga meningkat dengan 3,6 persen dibanding triwulan kedua 2019 menjadi 58,8 juta.

 

Sesuai kebutuhan pelanggan

Namun Indosat berpotensi merebut kembali posisi kedua, melibas pesaingnya, dengan syarat jaringannya diperluas dengan membangun belasan ribu BTS (base transceiver station) baru yang menyasar luar Jawa dan kawasan pinggiran. Saat ini Indosat hanya memiliki 29.000-an BTS 4G dari sekitar 70.000 BTS miliknya.

Sementara jumlah pelanggan aktif XL Axiata dilaporkan naik dari 53,9 juta menjadi 55,5 juta dengan ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) dari Rp 34.000 menjadi Rp 36.000. Angka ini lebih bagus dibanding ARPU Indosat yang sekitar Rp 27.800 meski sudah naik drastis dari Rp 11.000 pada periode sebelumnya.

Kenaikan pendapatan XL Axiata lebih didukung dari kenaikan pendapatan data dengan meningkatnya jumlah pelanggan yang menggunakan data yang mencapai 88 persen dari seluruh pelanggan. Dari 129.000 BTS miliknya, Axiata memiliki sekitar 39.000 BTS 4G LTE, yang dioperasikan di 410 kota di Indonesia.

Presiden Direktur Utama PT XL Axiata Dian Siswarini mengatakan, XL Axiata berhasil menerapkan customer value management yang berbasis analytics, memanfaatkan platform Omni Channel untuk melakukan pemasaran dan penjualan produk kepada pelanggan. Upaya ini termasuk memanfaatkan IT digital  dan data analitik untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan, sehingga perusahaan lebih mudah dalam menyediakan dan menawarkan layanan yang memang mereka butuhkan, tepat saran.

Perusahaan ini berpotensi mendapat tambahan pendapatan dengan kembali menjual menaranya, sebanyak tiga ribuan dari 4.500 menara yang akan dijual awal November. Diperkirakan XL Axiata akan menerima uang tunai sebesar hampir Rp 3,9 triliun, yang proses tuntasnya akan terjadi pada triwulan pertama tahun 2020, dan jumlah pendapatan ini merupakan sekitar 20 persen dari ekuitas perusahaan.

Penjualan menara tidak bisa diartikan bahwa operator itu kekurangan dana, karena kebijakan itu dilihat dari semata-mata nilai strategis menara, yang semula satu menara berisi 2-3 BTS menjadi induk 10 sampai 20 BTS di sekitarnya. Penggelaran jaringan serat optik telah mengubah semua yang membuat menara-menara BTS itu tidak strategis sebagai induk lagi sehingga tidak berkontribusi besar pada pendapatan perusahaan.

Penjualan menara bagi XL Axiata kali ini akan menjadi ketiga kalinya, dengan alasan yang berbeda. Kali pertama pada 2014 operator itu menjual 3.500 menara senilai Rp 5,6 triliun ke PT Solusi Tunas Pratama, kemudian pada tahun 2016 dijual lagi 2.500 buah menara kepada PT Protelindio senilai Rp 3,6 triliun.

Selain menjual menara, XL Axiata juga menyerahkan kegiatan manajemen layanan (manage service) jaringan BTS-nya ke vendor jaringan, Huawei. Upaya-upaya ini membuat XL menjadi perusahaan yang sangat efisien, terutama dalam mempekerjakan sumber daya manusia dan infrastruktur. ***

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled