Industri Telko di Persimpangan

sinyal.co.id

hot issue aSAAT ini hingga sekitaran akhir dekade, industri telekomunikasi seluler di Indonesia akan bergerak sangat dinamis. Bukan hanya karena teknologinya berkembang pesat dengan munculnya GSM generasi kelima (5G) pada tahun 2018, namun kegairahan industri terpacu dengan lenturnya aturan perundangan yang sangat disesuaikan.

Paham rezim pemerintah Jokowi-JK memang mengakomodir, kalau aturan menghambat dan harus diubah, akan dilakukan perubahan. Di industri telko Tanah Air, sudah puluhan aturan perundangan mulai dari Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), hingga Peraturan Pemerintah (PP), seperti yang sekarang digarap untuk mengubah PP 52 tahun 2000.

Di satu sisi, industri menjadi bergairah, namun di sisi lain seleksi alam akan berlaku. Yang tidak tahan akan  mundur dengan sendirinya. Atau cari selamat dengan akuisisi, merger atau bubar.

Sebesar apa pun investasi – yang umumnya tinggi – sebagai perusahaan padat modal tetap harus mendapat nilai yang cukup jika manajemen akan melakukan tindakan-tindakan penyelamatan. Pemilikan spektrum, jumlah pelanggan dan ARPU (average revenue per user – rata-rata pendapatan dari tiap pelanggan) menjadi komponen utama nilai perusahaan.

Tahun-tahun berikut ini akan menjadi masa simpang-jalan bagi semua operator telko, investasi akan dikaji ulang apakah itu memang punya prospek pengembangan usaha yang lebih baik, atau malah menjadikan perusahaan berdarah-darah. Seperti sempat terjadi pada XL Axiata sebagai akibat akuisisi Axis.

Satu kasus menarik ketika Sampurna Telecom mengajukan izin teknologi netral terhadap spektrum yang mereka gunakan, 450 MHz (470 MHz), agar dapat memberi layanan 4G. Dengan teknologi netral Sampurna ingin gabung di eforia 4G LTE, berharap dapat berkembang di kemudian hari dari sekadar operator CDMA.

Konon pemerintah minta manajemen mengkaji ulang bisnis model dan rencana bisnisnya, apalagi contoh (benchmark) untuk kasus sama hanya ada dua operator, di Eropa Timur dan di Amerika Selatan yang belum terbukti bagus. Demikian pula ketika operator pita lebar WIMAX (worldwide interoperability mobile access) yang bekerja di rentang 2300 MHz, yang oleh pemerintah  disarankan untuk gabung jadi satu entitas bisnis kalau ingin beroperasi sebagai operator seluler.

Dari iklim usaha telko seluler, saat ini tidak senyaman dua dekade lalu yang gebyar. Efisiensi pengencangan ikat pinggang sudah lama dilakukan dan otoritas menawarkan berbagai opsi untuk makin efisien, misalnya dengan penggunaan bersama kabinet BTS (MORAN – mobile operator radio access network) dan MOCN (mobile operator core network).

Sebagian operator ingin MOCN karena efisiensinya bisa sampai 50-an persen, sementara kalau MORAN hanya 20 – 30 persen. Dengan MOCN, frekuensi antartetangga (operator) bisa digunakan bersama sehingga investasi di perangkat teknologi bisa ditekan lebih dari separuhnya, kabar tak terlalu baik bagi vendor perangkat.

Saat ini MORAN baru dikerjakan oleh dua operator, Indosat Ooredoo dan XL Axiata di empat kota, dua milik XL dan dua milik Isat. Mereka sangat berharap revisi PP 52/2000 segera terbit untuk mengadopsi aksi korporasi kedua operator itu, menghindari kriminalisasi seperti sedang terjadi.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled