Kebijakan IMEI; ATSI Ingin Tunda, Industri Gelisah

USULAN ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telepon Seluler Indonesia) lewat surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Selasa (24/3) lalu agar menunda pelaksanaan kebijakan soal vaidasi IMEI hingga enam bulan mendatang, belum ditanggapi. ATSI mempertimbangkan bahwa saat ini, ketika kekhawatiran masyarakat akan dampak virus Covid-19 sangat tinggi, kebijakan itu akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Kebijakan validasi IMEI yang diteken tiga menteri, Kominfo, Perdagangan dan Perindustrian pada 18 Oktober 2019 direncanakan akan mulai diberlakukan pada 18 April mendatang. Kebijakan dengan skema white list itu akan memblokir ponsel selundupan atau BM (black market) yang diaktifkan yang IMEI-nya tidak terdaftar di perangkat Sibina (sistem informasi basis data IMEI nasional) yang ada di Kementerian Perindustrian.

Tidak hanya ponsel BM, juga ponsel turis atau siapa pun yang datang dari luar negeri dengan membawa ponselnya tetapi menggunakan SIM operator seluler Indonesia. Ponsel tetap bisa digunakan kalau menggunakan SIM negara asal, atau si turis mendaftarkan ponselnya di gerai Bea Cukai di terminal-terminal kedatangan internasional.

Usulan ATSI itu sebenarnya bisa diterima akal, karena masyarakat sekarang sedang gelisah, jangan lagi ditambahi beban dengan kebijakan baru. Walaupun sebenarnya masyarakat tidak usah berbuat apa pun ketika kebijakan diterapkan, karena ponsel lama baik ponsel resmi maupun BM yang sudah diaktifkan sejak sebelum 18 April, tidak akan mendapat dampak apa-apa.

Apalagi pada dasarnya semua sudah siap, ketiga kementerian dan operator pun konon sudah siap pula. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kominfo, Janu Suryanto pun menyatakan pihaknya sudah siap.

Hanya memang Kemenperin masih menunggu perangkat CEIR (central equipment identification registration) sumbangan dari para operator anggota ATSI. Alat EIR-nya sendiri dimiliki masing-masing operator dan seharusnya sudah dilelang sejak Selasa (24/3) lalu dan rencananya alat akan diuji coba ketersambungannya pada 11 April mendatang.

Hingga surat berisi usulan anggota ATSI masuk ke meja Menkominfo, Janu masih yakin bahwa tenggat yang ditetapkan tidak akan diundur. Apalagi sebagian masyarakat menilai bahwa tenggat bisa dilalui tanpa harus ramai-ramai dengan upacara yang bisa menghimpun kerumunan massa.

Operator belum siap

Namun usulan pengunduran waktu ini menggelisahkan pelaku pasar dan industri ponsel lokal. Pemunduran yang hingga enam bulan ke depan bisa berarti maraknya lagi penyelundupan ponsel BM.

APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia) memperkirakan hingga akhir 2019 setiap tahun pemerintah kehilangan potensi pajak hingga Rp 2,8 triliun karena masuknya sekitar 11 juta ponsel BM. Kerugian juga diderita 21 industri ponsel dalam negeri karena tidak mampu bersaing dengan ponsel BM yang harganya sekitar Rp 300.000 di bawah harga ponsel lokal, dan sebagian dari mereka kini tidak berproduksi.

Menurut Ketua Umum APSI, Hasan Aula, sebenarnya tidak ada alasan untuk menunda pelaksanaan kebijakan validasi IMEI. Berdasarkan pengamatannya, masyarakat sudah tersosialisasi dengan rencana kebijakan tadi dan mereka kini hanya mau membeli ponsel pintar dari gerai resmi, tidak mau lagi mencari barang BM.

Sementara Ketua YLKI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, kebijakan validasi IMEI harus memprioritaskan aspek perlindungan konsumen, bukan semata kerugian negara. Yang penting, katanya, “Masyarakat harus memastikan ponsel yang akan dibelinya adalah ponsel legal dan jangan terima jaminan toko karena itu berarti ponsel BM.”

Kalangan industri khawatir penundaan akan menderaskan kembali impor ponsel BM, karena usulan masa tundanya hingga enam bulan. “Bayangan cerah ke depan bagi industri ponsel langsung pupus. Kebijakan itu sebaiknya langsung saja diterapkan,” ujar seorang pimpinan satu pabrik ponsel lokal yang enggan disebut namanya.

Di lain sisi, keluarnya surat usulan ATSI kepada Menkominfo itu memperjelas kecurigaan Dani Buldansyah, Wakil Presiden Hutchison Tri Indonesia (H3I – Tri) bahwa ada operator yang belum siap menerapkan kebijakan validasi IMEI. Ia tidak tahu apakah karena harga EIR yang harus dibeli, yang menurut dia harganya sangat kecil dibanding Capex (capital expenditure – biaya modal) ataupun Opex (operational expenditure – biaya operasi) perusahaan atau alasan lain.

Ia malah menuding tanpa menyebut siapa operator yang dimaksud, mereka akan memanfaatkan masa tenggang penundaan untuk menerima pelanggan-pelanggan baru yang mendaftarkan ponsel BM-nya. Dani tidak menjawab apakah operator yang dimaksud yang sejak beberapa tahun ini jumlah pelanggannya turun drastis. ***

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled