Seluler 5G Indonesia, Mimpi Indah yang (Tak Boleh) Tertunda

Oleh: Garuda Sugardo (Dewan TIK Nasional)

 

Sepuluh hari Kabinet Indonesia Maju bekerja, masyarakat secara telaten memantau statemen dan komen dari para menteri baru dalam menyukseskan program kerja Presiden. Salah satu yang ditunggu adalah tentang implementasi seluler 5G dari Menkominfo.

Hal ini beralasan mengingat semua orang di Indonesia gandrung ponsel dan belanja pulsanya dalam setahun mencapai Rp200 Triliun, atau lebih dari Rp500 milyar per hari (!). Itu belum terhitung belanja gadget, laptop dan pelbagai aksesorisnya.

Sejarah perjalanan teknologi seluler di Indonesia memang unik. Kendati kita belum mampu sepenuhnya memproduksi perangkat seluler berteknologi maju, namun potensi pasar yang besar dan perilaku konsumeris; pada kenyataannya telah menjadikan habit memilih “teknologi mutakhir” sebagai tren kehidupan.

Seluler adalah produk teknologi berorientasi retail, bekerja di ranah publik yang bernama spektrum frekuensi. Sebagai kebutuhan primer, penerapannya bisa didorong oleh pemerintah (regulatory driven), tuntutan pasar (market driven), pengaruh kemajuan (technology driven), gerakan operator (operator driven); atau kombinasi di antaranya.

Pada 25 tahun yang lalu, Telkom melahirkan Telkomsel karena timingnya bersamaan dengan demam kehadiran teknologi digital GSM di Eropa dan “pemberontakan” pasar terhadap harga ponsel analog yang kala itu gila-gilaan mencapai Rp15 jutaan per unit. Sekarang, harga ponsel yang sepersepuluhnya pun ada.

Dulu menenteng ponsel adalah simbol status, saat ini ponsel sudah merata menjadi kebutuhan dan bursa ponselnya tumbuh subur di seantero negeri.

Penetrasi pelanggan seluler di Indonesia kini melebihi populasi penduduk, hal ini serta merta menjadikan kita sebagai negara ke-4 dalam ranking jumlah pelanggan seluler di dunia.

Melalui layar tivi kita tahu bahwa politisi senior Johnny G. Plate adalah tokoh yang cetar dalam berkomentar. Sebagai Menkominfo; entah karena sudah paham tentang seluk beluk industri telekomunikasi atau sekedar copas, wallahualam, ia pun tangkas menjawab pertanyaan wartawan. Statemen “geledek”nya mengawali tugas sebagai menteri adalah bahwa 5G tidak akan hadir ke Indonesia dalam waktu dekat.

Dia pun mengatakan teknologi itu baru akan masuk ke Indonesia saat operator seluler telah membangun jaringan 2G, 3G, dan 4G secara nasional dan merata. Lalu, “Kita selesaikan dulu PR soal kesetaraan dan kesamaan secara nasional,” kata Johnny.

Kalau regulatory driven-nya seperti itu, marilah kita mengusap dada sambil bersiap-siap ketinggalan kereta dan istirahat di tempat, grak. Statemen itu kurang lebih persis dan senafas dengan pesimistik dari mantan menteri yang sebelumnya.

Chief Rudiaantara di periode kemarin sebenarnya cukup oke. Ia rajin menghadiri demo dan trial 5G oleh operator maupun vendor, tapi sayang komentarnya acapkali bikin semangat kendor. Ia tidak mengantisipasi wisdom Pak Jokowi tentang “Indonesia maju”, maka tempo hari katanya pasar belum siap, tarifnya masih

mahal atau firasatnya mengatakan Indonesia belum saatnya masuk 5G. Ia mungkin lupa bahwa 5G bukanlah konsumsi konsumer biasa, melainkan untuk ceruk industri. High end market.

Tentang kesetaraan nasional, selain Telkomsel yang sudah sejak 20 tahun lalu memiliki coverage Nusantara, pelanggan sebenarnya sudah jemu menunggu operator yang lain berkomitmen serupa. Nyatanya, pada umumnya mereka lebih memilih beroperasi di kota-kota besar dan daerah yang “basah” saja.

Buat mereka –maaf- sepertinya wilayah IBT adalah bagaikan beban bukan kewajiban. NKRI sekedar peta bukan realita blantika. Lha, sekarang oleh menteri yang baru, ujug-ujug operator diminta untuk membangun kesetaraan. Ajaib kan?

Presiden Jokowi tanggal 04 bulan 04 tahun 2018 yang lalu, telah mencanangkan Revolusi Industri “Making Indonesia 4.0”. Terkait technomobile , literatur manapun menyebutkan korelasi yang kuat antara 5G dan industri 4.0. Jadi, dengan segala aspeknya, kiranya tidak ada alasan Indonesia mengulur-ulur waktu untuk masuk ke 5G.

Lisensi 5G perdana harus ditempatkan sebagai insentif dan bonus bagi operator yang berprestasi (baca: Telkomsel).

Tidaklah elok bila izin 5G disamaratakan, apalagi digunakan sebagai pendongkrak valuasi korporasi belaka.

Operator yang belum menjalankan amanah modern lisencing-nya, atau yang koceknya sedang cekak, sebaiknya dengan sabar dipersilakan untuk menunggu kloter berikutnya. Atas nama kebersamaan, makna kemajuan sejatinya adalah yang tertinggal mengejar yang di depan; bukan yang di depan menunggu yang kesiangan. Itulah “5G yang berkeadilan”.

Sesuai tradisi hebat dari industri seluler Indonesia, gerak cepat dan lari maraton ala Jokowi secuil pun tidak boleh terhambat. Implementasi 5G harus difasilitasi oleh pemerintah, dan spektrumnya perlu disiapkan sejak dini.

Kegiatan uji coba 5G adalah wahana guna merespon minat dan potensi pasar di segmen industri dan fabrikan. Di era industri 4.0, maka IoT broadband , agregat robotik dan intelijen artifisial akan menjadi kenyataan di sekeliling kehidupan kita. Dengan 5G, Making Indonesia 4.0 akan lebih cepat terlaksana, secara mobile and realtime.

Biarkan 5G bersemi di tanah nan jaya. Teknologi maju sudah tersedia. Jangan tunda mimpi indah tentangnya, karena esok hari kita akan bersanding bersama kehadirannya.

Salam Indonesia Maju!

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled