Tahun Depan Operator Seluler Tinggal Empat

sinyal.co.id

Logo selularINDUSTRI telekomunikasi nirkabel seluler di dunia ini tumbuh pesat, teknologinya berkembang dengan cepat. Berbeda dengan perbankan, transportasi, bahkan industri strategis seperti persenjataan. Apa yang diagungkan dekade lalu, tahun ini sudah dianggap usang, bahkan dalam delapan tahun teknologi telko sudah uzur, diganti teknologi baru.

Kesadaran akan potensi teknologi acapkali tidak disejajarkan dengan potensi pasar. Sehingga ketika pasar tumbuh dengan bagus dan teknologi pun mendukung. Para pengambil keputusan melakukan kebijakan jangka pendek yang lebih direfleksikan kepada kepentingan pribadi. Sikap itu ditiru oleh penggantinya sehingga umum terjadi, pejabat baru membawa kebijakan baru.

Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi DNA (device, network, application – perangkat, jaringan dan aplikasi) karena tahun lalu impor kita mencapai 3,2 miliar dollar AS (hampir Rp50 triliun) untuk perangkat (ponsel, tablet dan sejenisnya). Meski orang bilang impor sebenarnya dua kali jumlah itu, sampai 6,4 miliar dollar AS karena yang separuhnya berupa barang selundupan, BM – black market.

Coba lihat Vietnam, negara kecil yang porak poranda karena pernah jadi ajang pertempuran antarblok barat dan timur. Pengambil kebijakan negara itu selalu mendahulukan kepentingan bangsa. Segala sesuatu kebijakan diambil dengan pertimbangan manfaat jangka panjang, bukan “jang ka imah” (-bahasa Sunda: untuk dibawa pulang), dan berkesinambungan, tidak setiap ganti pejabat ganti kebijakan.

Tiongkok saja yang penduduknya di atas 1,3 miliar jiwa, hanya punya dua operator telko, China Unicom dan China Mobile. Indonesia yang penduduknya 255 juta, punya sedikitnya delapan operator, tujuh di antaranya operator nirkabel seluler: Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Smartfren, Hutchison Tri, Sampurna, Bakrie, dan operator kabel Telkom.

Banyaknya operator yang ladangnya sama membuat berbagai duplikasi yang tidak perlu sehingga banyak dana atau potensi masyarakat yang mubazir. Ini pula yang menyebabkan banyaknya anggota masyarakat yang memiliki lebih dari satu nomor seluler dari berbagai operator. Dari 350 jutaan nomor yang aktif pemiliknya hanya separuhnya, sekitar 180 juta orang saja.

Petinggi masa lalu tidak pernah memperhitungkan efisiensi di industri padat modal ini, karena selalu tergiur pada tawaran yang diajukan pelobi unggul industri telko. Makanya pada masa lalu entitas bisnis operator selalu berkait erat dengan nama (keluarga) pejabat tinggi, yang karena memang dasarnya tidak berniat membangun bangsa lewat industri, yang begitu mendapat lisensi langsung dijual kepada investor.

Konyol, ketika operator yang semula hanya mendapat izin menjalankan layanan data tiba-tiba mendapat izin layanan suara (seluler penuh) dengan alasan bisnis data belum terlalu diminati sehingga perlu diberi izin seluler. Tak lama kemudian lisensi operator tadi berganti pemilik.

Kekonyolan berlanjut, ketika pemerintah berpendapat mirip dengan sebelumnya, operator tadi tidak bisa berkembang dan punya nilai di mata investor karena hanya punya 10 MHz di satu spektrum, sehingga perlu diberi dua kanal di 2100 MHz, gratis. Begitu dapat dua kanal 3G, lisensinya pun berpindah tangan.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled