Wacana IMEI yang Tidak Juga Berujung

WACANA pengendalian ponsel dari pasar gelap (BM – black market) tidak hanya muncul sebulan-dua pada akhir tahun 2018 lalu, karena sudah ada sejak GSM mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1994. Ketika itu baru satu operator yang beroperasi, PT Satelit Palapa Indonesia (PT Satelindo) yang kemudian dicaplok oleh PT Indosat.

Pencurian ponsel marak dan masyarakat pelanggan meminta PT Satelindo melakukan blokir ponsel spanyolan (“separuh nyolong”) lewat pelacakan IMEI (international mobile equipment indentity – nomor produksi ponsel dari pabrik). Pencantuman IMEI diwajibkan bagi semua pembuat ponsel anggota GSMA (GSM Association) yang angkanya didapat dari ITU (International Telecommunication Union).

Desakan muncul lagi akhir-akhir ini, meminta pemerintah menerapkan kebijakan autentifikasi EIR (equipment identity register) kepada semua operator sebelum mereka memverifikasi kartu perdana yang diregistrasi. EIR yang dioperasikan operator selular akan menolak ponsel yang tidak dikenal nomornya karena tidak ada dalam DIRBS (device identification, registration and blocking system) yang dirilis Kementerian Perdagangan.

Desakan muncul dari importir, distributor dan pabrik ponsel lokal yang merakit ponsel global. Mereka terganggu oleh maraknya ponsel BM yang disebutkan mencapai 20 persen dari 70 jutaan ponsel yang beredar di Indonesia.

Data Kementerian Perindustrian tahun 2017 menyebutkan, jumlah ponsel merek global yang dibuat di Indonesia dengan tingkat kandungan dalam negeri  (TKDN) 30 persen sudah mencapai 60 juta dengan 34 merek, 11 di antaranya merek lokal. Sementara impor ponsel masih berjalan, jumlahnya mencapai 11,4 juta unit dengan nilai 775 juta dollar AS.

Jumlah ini naik pesat dibanding tahun 2013 ketika ponsel produk lokal hanya 105.000 dengan dua merek, sementara impor saat itu mencapai 62 juta unit senilai 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 43,5 triliun dengan kurs saat ini. Kebijakan TKDN telah menghemat devisa hingga lebih dari dua miliar dollar AS.

Namun Ketua ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluler Indonesia) yang juga Direktur Utama PT Telkomsel, Ririek Ardiansyah kurang setuju kebijakan IMEI diterapkan saat operator sedang bangkit dari keterpurukan akibat kebijakan registrasi. Ia menilai, daripada melakukan kontrol IMEI sebaiknya pemerintah memperketat registrasi kartu SIM, jika tujuannya hanya menertibkan penggunaan ponsel. Apalagi, “Konon IMEI bisa dikloning,” katanya.

Kebijakan registrasi yang diterapkan pemerintah sejak Oktober 2017 hingga Mei 2018 memang membuat operator bergelimpangan, menurunkan jumlah pelanggan sekaligus pendapatan. Pelanggan PT Telkomsel yang pada akhir tahun 2017 ada 196 juta, akibat registrasi hanya tersisa 179 juta pelanggan, demikian pula PT Indosat Ooredo yang semula memiliki 115 juta pelanggan, pada triwulan terakhir 2018 ini  tersisa 64,1 juta.

Sampai triwulan ketiga 2018 Indosat rugi di atas Rp 1,25 triliun, XL Axiata dari untung Rp 238 triliun pada periode sama berbalik menjadi rugi Rp 132,5 miliar. Sementara Telkomsel masih tetap untung, hanya menurun dari Rp 17,9 triliun menjadi Rp 14,5 triliun.

Masyarakat juga menolak penerapan EIR, karena jelas harga ponsel BM lebih murah dibanding ponsel resmi yang dirakit di Indonesia. ***

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled