Fitnah Pun Ikut Merebak di Dunia Telko

makianMakian jadi jamak

Coba masuk ke satu kawasan kumuh, ketika suatu waktu gang dipenuhi warga yang terpaksa keluar rumahnya karena tak ada ruang cukup untuk – misalnya – baca-tulis, menjahit atau merangkai  bunga. Boro-boro untuk kegiatan itu, yang disebut ruang depan atau ruang tamu sudah jadi ruang tidur karena isi rumah yang berlebihan, rumah petak ukuran 3X5 meter dihuni lebih dari tujuh orang: suami-istri, tiga anak dan kakek-nenek atau kemenakan.

Tidur pun terpaksa berhimpitan dan lahan sedikit di gang menjadi tempat mencari udara segar. Di sini muncul segala kegiatan yang lebih ke arah vokal, ghibah, membicarakan keburukan, kelakuan, kelucuan atau bahkan memaki orang lain.

Apa hubungannya dengan telko? Kita lihat media sosial, twitter, facebook, instagram dan sebagainya, yang kalau kita buka akan miris membacanya. Tidak sedikit apa yang dilakukan di gang, dimuntahkan di medsos.

Memaki seseorang, melampiaskan kemarahan dan mengeluarkan semua isi kebon binatang sudah jadi biasa di medsos. Banyak pemakai ponsel pintar memindahkan suasana gang ke medsos  dengan mengungkapkan segala macam sampah tanpa tedeng aling-aling.

Jika kita mengomentari seseorang di gang, yang mendengar paling lima-enam orang. Namun di medsos, begitu umpatan diunggah, yang membaca bisa ratusan ribu orang.

Orang harus belajar bahwa efek medsos dan efek gang sangat beda, sehingga orang harus lebih hati-hati dalam memanfaatkan teknologi telekomunikasi itu. Fitnah, hate speech – pengucapan kebencian –  kini seolah menjadi jamak dan akan sangat berbahaya jika tidak dilakukan penegakan hukum berdasarkan UU ITE.

Orang yang biasa memfitnah, atau biasa membicarakan kebohongan di warung kopi dengan “audience” terbatas, sulit sadar akan efek luas fitnah yang dilancarkan lewat medsos. Contoh, ketika seseorang menghembuskan isu bahwa seorang menteri bertemu dengan salah seorang ketua partai untuk menyampaikan pesan presiden merestui satu mantan menteri di jajaran kabinetnya untuk jadi bakal calon gubernur.

Pihak Istana kerepotan membantah, tetapi tidak ada tindakan hukum agar si pemitnah yang konon bukan cuma sekali melakukan  hal demikian, jera. Fitnah juga diluncurkan orang yang sama dengan sasaran operator telko terbesar, yang dikatakan menjual aset BUMN sehingga sangat merugikan negara.

Juga tentang kasus Indosat Mega Media (IM2), yang bolak-balik dihembuskan orang lewat medsos dan online. Kasus IM2 menjadi sangat berat, karena penegak hukum lebih memperhatikan fitnah dan tidak mendengar pertimbangan-pertimbangan hukum di telekomunikasi, apalagi didukung pendapat BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bahwa ada kerugian negara sampai Rp 1,3 triliun. Di negara kita, BPK merupakan super body yang pendapatnya tidak bisa dibantah, seperti dalam kasus Sumber Waras.

Menarik juga pengulangan berita bahwa SBY pernah menikah dan punya dua anak sebelum masuk Akabri dan menikah dengan Ani. Walau SBY pernah melaporkan sumber berita yang sama ke Polri tetapi lalu dilakukan penyelesaian, namun berita yang kedua lebih lengkap dengan nama-nama dan waktu kejadian yang mendukungnya, dan belum ada upaya melaporkannya ke polisi.

Mengerikan sekali membayangkan apa yang akan terjadi lima atau 10 tahun ke depan, ketika orang merasa bahwa medsos merupakan forum bebas sebebas bebasnya untuk menyampaikan pendapat. Apalagi jika seseorang meluncurkan fitnah atau hoax dan mendapat reaksi keras masyarakat, ia cukup menghilangkan diri tanpa harus membela apa yang sudah diucapkannya, apalagi jika fitnah itu dikemas dalam karya seni, misalnya puisi.

Pilkada Gubernur DKI awal tahun depan juga berpotensi besar terjadinya penyebaran fitnah. Polri memang sudah siap akan menindak orang yang meluncurkan ucapan kebencian yang muncul di medsos, tetapi itu belum cukup, harus ada hukuman berat bagi yang bersalah.

Moch. Hendrowijono

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled