Perlu 100 MHz Untuk 5G Optimal

Tidak ada yang bisa membantah bawa Telkomsel berhasil mengibarkan bendera pertama sebagai operator 5G pada Kamis 27 Mei lalu, hal yang sangat patut diacungi jempol walau belum optimal. Indosat saja yang sudah sempat mengumumkan rencana untuk menjadi operator 5G pertama, baru mengajukan permohonan mendapat SKLO (Surat Keterangan Laik Operasi) 5G pada 3 Juni berikutnya.

Bisa dimaklumi Telkomsel belum maksimal, karena baru bisa menggunakan rentang 30 MHz di spektrum 2300 MHz miliknya. Sementara  yang 20 MHz hasil menang lelang  secara adminsitratif belum dikuasainya. Sama dengan Smartfren yang memenangkan 10 MHz, belum bisa menikmatinya.

Namun, kepemilikan spektrum selebar 50 MHz belum bisa dikatakan cukup untuk membuka layanan 5G, paling tidak kemampuan 100X kecepatan 4G LTE, up to 10 Gbps masih jauh dari impian. Tetapi sudah bagus, uji coba di beberapa tempat kecepatan mencapai 600 Mbps dan nyaris 800 Mbps, juga latensi (waktu yang dibutuhkan dari asal sampai tujuan) belum satu  milidetik, tapi sudah jauh dari lima milidetik seperti 4G.

Secara teoretis untuk melayani 5G operator harus punya 100 MHz di milimeterband, gelombang pendek antara 2,3 GHz sampai 26 GHz dan 28 GHz, yang konon akan dibuka pemerintah bersamaan dengan pelepasan spektrum 700 Mhz ex-TV analog. Meskipun spektrum 2,3 Ghz tidak begitu disukai karena ekosistemnya, yang antara lain berupa BTS dan ponselnya tidak banyak vendor yang memroduksinya.

Dunia telko lebih menyukai spektrum 26 MHz dan 28 GHz, sampai 35 GHz dan seterusnya untuk membuka layanan 5G, karena frekuensi yang tersedia sekitaran 1.000 MHz per spektrum. “Untung” kita hanya punya enam operator: Telkomsel, Indosat, Xl Axiata, Hutchison 3, Smartfren dan Net-1 (Sampurna Telecom).

Dari semua operator, Telkomsel paling banyak spektrumnya dengan 155 MHz, lalu Indosat 95 MHz, XL Axiata 90 MHz, Smartfren 62 MHz, 3 selebar 50 MHz dan Net-1 selebar 15 MHz. Yang paling sulit berinovasi adalah Net-1 yang menggunakan frekuensi tidak umum, 450 MHz.

Begitupun, sulit bagi Telkomsel untuk memanfaatkan 100 MHz di antaranya hanya sekadar memberi layanan 5G secara optimal. Yang pertama, tiap spektrumnya – 900 MHz, 1800 MHz dan 2300 MHz – sudah dipadati oleh 168 juta pelanggannya dengan 30 persen lebih pelanggan 2G, yang meski tiap pelanggan hanya menyetor “recehan”, tapi kali saja dengan 50 jutaan.

Kembalikan frekuensi

Telkomsel saja kerepotan, apalagi operator lain yang pemilikan spektrumnya di bawah 100 MHz. Ada jalan yang sebenarnya bisa ditempuh, yaitu konsolidasi. Paling ekstrem dari konsolidasi adalah merger atau akuisisi, namun paling “mudah” adalah kerja sama, saling berbagi frekuensi.

Sayangnya pemerintah (Kominfo) belum pernah menyatakan secara jelas efek dari konsolidasi, apakah spektrum yang dimilik kedua perusahaan yang berkonsolidasi boleh tetap dimiliki atau dikembalikan sebagian, seperti pengalaman pahit XL Axiata, atau dikandangkan sementara kelebihan frekuensinya.

XL Axiata yang berhasil mengakuisisi Axis beberapa tahun lalu malah mengaku menderita rugi besar. Ternyata, tanpa diberi tahu sebelumnya, mereka wajib mengembalikan 10 MHz di spektrum 2100 MHz kepada pemerintah, yang lalu menjualnya ke operator lain.

Yang kedua, untuk urusan 5G, uji coba di lapangan tidak memungkinkan diterapkannya rekayasa CA (carrier aggregation – menggabungkan dua atau lebih spektrum) untuk mendapat output kecepatan lebih tinggi. CA di teknologi 4G LTE bisa memuntahkan kecepatan sampai 150 Mbps, bahkan dilaporkan 300 Mbps, tetapi men-CA-kan teknologi 5G, hasilnya yang keluar adalah semprotan 4G LTE juga. Demikian juga, untuk mengejar kapasitas setara 5G, belum mungkin menggunakan rekayasa MIMO (multiple in-multiple out) dengan menggandakan antena-antena.

Ada syarat 5G yang lain. Di spektrum milimeterband cakupannya sempit sehingga jarak antar-BTS menjadi rapat, yang berdampak investasi operator menjadi tinggi. Apalagi jika 5G digunakan untuk mobil swa kemudi (autonomous vehicle), tidak boleh ada sinyal kosong agar mobil itu tidak melenceng yang justru dapat membahayakan masyarakat.

Dampaknya, harga data 5G – diperkirakan – 10 kali lebih mahal dibanding 4G LTE, lalu bisakah pasar ritel dirambah operator 5G. Penggunaan layanan 5G paling cocok memang untuk industri, perkebunan, pertanian, perkantoran, rumah sakit dan sebagainya.

Rumah tangga para sultan mungkin saja 5G untuk mengoperasikan robot-robot, tetapi mungkin baru diperlukan kalau gaji PRT sudah lebih mahal dari saat ini. Sepanjang gaji PRT murah seperti sekarang, hanya sultan yang alergi terhadap PRT yang akan menggunakan jasa 5G.

Bengekan  

Di pabrik-pabrik, layanan 5G sangat ditunggu karena bisa menyelesaikan banyak masalah. Tidak akan ada lagi karyawan yang minta cuti hamil, tidak akan ada tambahan tunjangan keluarga karena pegawainya lumayan produktif di rumah, atau tidak usah ngurusi pegawainya yang bengekan. Teknologi 5G bahkan jadinya lebih dahsyat dibanding pandemi dalam menciptakan PHK, karena peran manusia diganti robot.

5G juga menyuburkan penggunaan IoT (internet of things) yang bisa memberi solusi bagi pekebun, peternak, petani dengan pengawasan dan otomatisasi kegiatan. Misalnya melakukan penyiraman tanaman, memberi catu ternak dengan pakan yang terukur waktu dan besarannya, tanpa campur tangan manusia.

Hanya saja, spektrum yang digunakan bukannya milimeterband namun gelombang panjang semisal 700 MHz dan 900 MHz, juga bahkan 450 MHz. Kelebihan spektrum ini bertolak belakang dengan milimeterband, sebab jarak antar-BTS bisa jauh karena radius jangkauan BTS-nya bisa sampai lima kilometer-an.

Hal lain yang bisa jadi prasyarat untuk operasional 5G adalah pemilikan fiber optik (fibre optic) yang kapasitasnya nyaris tidak terbatas. Fiber optik ini yang harus menjangkau semua BTS yang dioperasikan, sehingga kemampuan prima 5G bisa tersalurkan.

Dan, lagi-lagi Kelompok Telkom yang memiliki jaringan fiber optik terpanjang, sampai 100.000 kilometer, sementara Moratel baru 30.000 km. Tetapi itu pun sudah membahagiakan Smartfren ketika berhasil membeli 20 persen lebih saham Moratel.

Namun pemilikan fiber sepanjang itu belum optimal kalau “urat-urat” fiber belum masuk semua pelosok, menyambung semua BTS si operator. Dalam kaitan ini, XL Axiata pun menjual hampir semua menara BTS-nya, lalu  menyewanya kembali, karena BTS nantinya tidak terlalu optimal tanpa semua tersambung ke serat optik.

Dan, mereka sedang melakukan fiberisasi, menyambungkan serat optik ke semua BTS-nya. ***

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled